Hukum Asal Perlombaan Dalam Islam
Poin pertama yang akan kami bahas adalah hukum asal perlombaan dalam islam. Sekedar perlombaan, yaitu bersaing dengan orang lain dalam suatu hal dan berusaha lebih dari yang lain ini tentu hukum asalnya mubah (boleh). Yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam lomba tersebut terdapat taruhan atau hadiah. Adapun sekedar lomba tanpa taruhan dan hadiah, hukum asalnya boleh. Karena perlombaan merupakan perkara muamalah. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:
الأصل في المعاملات الحِلُّ
“Hukum asal perkara muamalah adalah halal (boleh)”.
Selain itu, para ulama ketika membahas masalah musabaqah, umumnya mereka mengidentikkan dengan perlombaan yang melatih orang agar siap untuk berjihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
السباق بالخيل والرمي بالنبل ونحوه من آلات الحرب مما أمر الله به ورسوله مما يعين على الجهاد في سبيل الله
“Perlombaan kuda, melempar, memanah dan semisalnya merupakan alat-alat untuk berperang yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk membantu jihad fi sabilillah” (dinukil dari Al Mulakhas Al Fiqhi, 2/156).
Oleh karena itu diantara dalil tentang disyariatkannya lomba adalah dalil-dalil yang memerintahkan umat Islam untuk melatih diri sehingga siap untuk berjihad fi sabilillah. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. Al Anfal: 60).
Dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu’anhu:
سمعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ، وهو على المنبرِ ، يقول وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di atas mimbar. Tentang ayat ‘dan persiapkanlah bagi mereka al quwwah (kekuatan) yang kalian mampu‘ (QS. Al Anfal: 60) Rasulullah bersabda: ‘ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak (sampai 3 kali)’” (HR. Muslim no. 1917).
Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits:
ألا إنَّ القوةَ الرميُ
“Ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak.”
Beliau menjelaskan: “Dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna ada keutamaan skill menembak serta keutamaan skill militer, juga anjuran untuk memberi perhatian pada hal tersebut dengan niat untuk jihad fii sabiilillah. Termasuk juga latihan keberanian dan latihan penggunaan segala jenis senjata. Juga perlombaan kuda, serta hal-hal lain yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maksud dari semua ini adalah untuk latihan perang, mengasah skill dan mengolah-ragakan badan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/57).
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
اللهْوُ في ثلاثٍ : تأديبُ فرَسِكَ ، و رمْيُكَ بِقوسِكِ ، و مُلاعَبَتُكَ أهلَكَ
“Lahwun (yang bermanfaat) itu ada tiga: engkau menjinakkan kudamu, engkau menembak panahmu, engkau bermain-main dengan keluargamu” (HR. Ishaq bin Ibrahim Al Qurrab [wafat 429H] dalam Fadhail Ar Ramyi no.13 dari sahabat Abud Darda’, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 5498).
Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah berlomba lari dengan Aisyah radhiallahu’anha. Ia berkata:
سَابَقَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَقْتُهُ حَتَّى إِذَا رَهِقَنَا اللَّحْمُ سَابَقَنِي فَسَبَقَنِي فَقَالَ : هَذِهِ بِتِيكِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajakku berlomba lari lalu aku mengalahkan beliau. Hingga suatu ketika ketika aku sudah lebih gemuk beliau mengajakku berlomba lari lalu beliau mengalahkanku. Beliau lalu berkata: ‘ini untuk membalas yang kekalahan dulu’” (QS. An Nasa-i no. 7708, Abu Daud no. 2257, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ [5/327]).
Dan dalil-dalil yang lain yang menunjukkan bolehnya dan bahkan dianjurkannya perlombaan memanah, berkuda, dan melempar (skill menembak). Itulah hukum asal perlombaan dalam islam.
Baca Juga: Mari Berlomba Meraih Shaf Pertama
Hukum Lomba Dengan Hadiah
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ
“Tidak boleh ada perlombaan berhadiah, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta” (HR. Tirmidzi no. 1700, Abu Daud no. 2574, Ibnu Hibban no. 4690, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan:
لَا تَجُوزُ الْمُسَابَقَةُ بِعِوَضٍ إلَّا فِي هَذِهِ الْأَجْنَاسِ الثَّلَاثَةِ
“Maksudnya, tidak diperbolehkan lomba dengan hadiah kecuali dalam tiga jenis lomba yang disebutkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 6/402).
Dari hadits ini, ulama sepakat bahwa lomba yang disebutkan dalam hadits maka hukumnya jika ada hadiahnya. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:
إِنْ كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بِجَائِزَةٍ فَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا فِي الْخَيْل، وَالإبِل، وَالسَّهْمِ
“Jika lombanya berhadiah maka ulama sepakat ini disyariatkan dalam lomba berkuda, balap unta, dan memanah.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 15/80).
Adapun untuk selain lomba yang disebutkan dalam hadits, jumhur ulama mengatakan tidak diperbolehkan. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:
فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ السِّبَاقُ بِعِوَضٍ إِلاَّ فِي النَّصْل وَالْخُفِّ وَالْحَافِرِ، وَبِهَذَا قَال الزُّهْرِيُّ
“Jumhur fuqaha berpendapat bahwa tidak diperbolehkan perlombaan dengan hadiah kecuali lomba menanah, berkuda dan balap unta. Ini juga pendapat dari Az Zuhri.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 24/126).
Dan semua lomba yang bermanfaat untuk membantu jihad fi sabilillah, maka diqiyaskan dengan tiga lomba tersebut, sehingga dibolehkan mengambil hadiah dari lombanya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Lomba yang berhadiah hukumnya haram kecuali yang diizinkan oleh syariat. Yaitu yang dijelaskan oleh sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam:
لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ
“Tidak boleh ada lomba (berhadiah), kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta.”
Maksudnya, tidak boleh ada iwadh (hadiah) pada lomba kecuali pada tiga hal ini. Adapun nashl, maksudnya adalah memanah. Dan khiff maksudnya adalah balap unta. Dan hafir artinya balap kuda. Dibolehkannya hadiah pada tiga lomba tersebut karena mereka merupakan hal yang membantu untuk berjihad fi sabilillah. Oleh karena itu kami katakan, semua perlombaan yang membantu untuk berjihad, baik berupa lomba menunggang hewan atau semisalnya, hukumnya boleh. Qiyas kepada unta, kuda dan memanah. Dan sebagian ulama juga memasukkan dalam hal ini perlombaan dalam ilmu syar’i, karena menuntut ilmu syar’i juga merupakan jihad fii sabilillah. Oleh karena itu perlombaan ilmu-ilmu syar’i dibolehkan dengan hadiah. Diantara yang memilih pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah” (https://www.youtube.com/watch?v=7xWSOcOWkXw)
Dengan demikian lomba yang diperbolehkan untuk mengambil hadiah adalah:
Adapun yang tidak termasuk dua kategori ini maka tidak boleh ada hadiah dalam perlombaan. Itulah hukum perlombaan dengan hadiah dalam islam.
Baca Juga: Melecut Semangat Untuk Menuntut Ilmu Syar’i dan Beramal Shalih
Hukum makanan dalam Islam dapat digolongkan ke dalam empat kategori, yaitu halal, haram, syubhat, dan makruh.[1]
Halal (حَلَال) dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang baik, dibolehkan, dan sesuai hukum. Bagi umat Islam, yang dimaksud dengan makanan halal adalah makanan yang diperoleh dan diolah sesuai dengan syariat Islam.[2]
Dalam Islam, perkara yang halal dan haram jelas hukumnya. Sementara perkara yang diragukan halal haramnya disebut sebagai syubhat.[3]
Ada pula makanan yang termasuk kategori makruh, yaitu makanan yang disarankan untuk dihindari.[1]
Hukum makanan dalam Islam diatur di beberapa ayat Al-Qur'an, terutama surah Al-Ma’idah (5): 3-4, yang merinci tentang makanan apa saja yang diharamkan dan dihalalkan. Kemudian ada pula dalam surah Al-Baqarah (2): 168 dan 172 serta An-Nahl (16): 114.[4][5] Perintah Allah untuk mengonsumsi makanan halal secara jelas disebutkan di dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Ma'idah ayat 88.[6] Kehalalan suatu makanan juga ditinjau dari cara memperolehnya.[7]
Mengonsumsi makanan halal merupakan salah satu bentuk keimanan seorang muslim. Allah melarang memakan makanan haram karena berpengaruh terhadap akhlak, watak, sifat, sikap dan perilaku seseorang.[8]
Hukum dasar binatang, binatang ternak dan burung adalah halal untuk dimakan. Makanan yang diharamkan dibedakan menjadi dua. Ada yang diharamkan menurut nash dalam sunnah Rasulullah saw dan ada yang diharamkan menurut ungkapan yang disebutkan dalam Kitabullah. Sejak dulu bangsa Arab telah mengharamkan beberapa jenis makanan dengan alasan bahwa makanan tersebut adalah sesuatu yang buruk. Sementara makanan yang dihalalkan merupakan sesuatu yang baik. Oleh karena itu, dihalalkan makanan yang baik menurut mereka dan diharamkan pula makanan yang buruk menurut mereka, kecuali beberapa jenis makanan yang dikecualikan.[9]
Istilah halal dapat merujuk pada bahan makanan yang boleh digunakan, dilakukan (terkait proses pengolahan) atau diusahakan (terkait proses perolehan) serta terbebas dari berbagai hal yang berbahaya atau dilarang. Kebalikannya, istilah haram (حَرَامْ) merujuk pada segala bahan makanan yang dilarang untuk digunakan atau dilakukan, baik karena kandungan zat di dalamnya maupun cara memperolehnya.[10]
Sebenarnya perkara halal dan haram merupakan istilah universal yang berlaku dalam semua aspek kehidupan. Tidak hanya berlaku untuk produk makanan tetapi juga untuk produk selain makanan, seperti kosmetik, produk perawatan tubuh, obat-obatan dan sebagainya.[11]
Sebagai jaminan atas kehalalan suatu produk, setiap produk harus tersertifikasi halal. Di Indonesia, proses sertifikasi halal diatur oleh Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sebelumnya, jaminan produk halal (JPH) dilakukan oleh masyarakat dan bersifat sukarela. Dengan adanya undang-undang tersebut, tugas JPH beralih dan menjadi tanggung jawab pemerintah (negara) dan bersifat wajib.[12]
Status keharaman makanan dan minuman bisa berubah menjadi halal dalam kondisi darurat, misalnya ketika seseorang tersesat di hutan dan tidak menemukan makanan halal. Dalam kondisi darurat, hal ini berlaku mutlak dengan maksud untuk bertahan hidup agar tidak mati kelaparan. Jika masih ada sumber makanan lain yang halal, makanan yang haram hukumnya tetap haram.[13]
Selain istilah halal, ada juga istilah thayyib yang berarti memiliki kualitas yang baik dan menyehatkan. Makanan yang thayyib juga harus aman dikonsumsi, tidak beracun dan tidak memabukkan. Oleh karena itu, setiap muslim diharuskan untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib.[14][15]
Makanan merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan dalam Islam karena bukan hanya berpengaruh terhadap kondisi tubuh dan kesehatan, tetapi juga dikabulkan tidaknya suatu doa. Secara garis besar, makanan halal memiliki beberapa kriteria yang wajib diperhatikan, yaitu halal karena zatnya, halal dari cara mendapatkannya, halal dari memprosesnya dan halal dari segi penyimpanan serta penyajiannya.[16]
Makanan halal adalah makanan yang terbuat dari hewan dan tumbuhan yang halal dimakan. Ada pun bahan-bahan yang diharamkan antara lain:
Makanan yang telah memenuhi kriteria halal dari sisi bahan, bisa dihukumi sebagai haram jika cara memperolehnya tidak baik, misalnya makanan yang didapat dengan uang hasil, mencuri, perbuatan zina, menipu, hasil riba, korupsi dan sebagainya.[16]
Makanan yang halal harus diproses dengan cara yang halal dan tidak tercampur dengan sesuatu yang haram. Dengan demikian, peralatan masak yang digunakan untuk memasak makanan haram tidak boleh digunakan bersamaan karena akan membuat makanan yang halal menjadi haram.[16]
Proses penyimpanan makanan halal tidak boleh dijadikan satu tempat dengan makanan haram. Selain itu, menyajikan makanan halal tidak boleh menggunakan peralatan makan yang diharamkan, seperti menggunakan alat makan yang terbuat dari emas.[16]
Selain halal, makanan yang dikonsumsi juga harus thayyib (baik dikonsumsi). Para ulama berbeda pendapat mengenai kriteria makanan yang disebut thayyib. Namun, setidaknya ada tiga pendapat umum ulama mengenai hal ini, yaitu makanan yang tidak membahayakan fisik maupun akal (pendapat Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirul Quranil 'Adzim), makanan yang mengundang selera (pendapat Imam Syafi'i dan ulama lainnya) dan makanan yang halal serta tidak najis (pendapat Imam Malik dan Imam Atthabari).[18]
Syubhat adalah perkara yang ketentuan hukumnya diragukan, apakah termasuk halal atau haram. Dalam Islam, jika suatu perkara tidak jelas status hukumnya, perkara tersebut sebaiknya ditinggalkan agar tidak terjatuh pada perkara haram. Pada pengertian yang lebih luas, syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas kebenarannya sehingga masih mengandung kemungkinan benar atau salah.[3]
Menurut ulama mazhab Syafi'i, Muhammad bin Ibrahim Ibnu Mundzir an-Naisaburi (242-318 H), perkara syubhat dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, sesuatu yang haram bercampur dengan yang halal. Misalnya, buah hasil curian (termasuk makanan haram) bercampur dengan buah halal lainnya dalam satu keranjang. Buah tersebut tergolong syubhat karena tidak jelas mana yang buah haram dan halal.[3]
Kedua, perkara halal, lalu muncul keraguan. Misalnya, produk-produk makanan olahan yang berasal dari negara mayoritas nonmuslim. Produk-produk tersebut tergolong makanan syubhat karena meskipun bahan dan barang produknya halal dan suci, apabila proses pengolahannya tercampur dengan bahan-bahan haram menjadi tidak halal. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang pengolahan bahan pangan, mengetahui kehalalan suatu produk makanan dan minuman bukan perkara mudah sehingga menimbulkan keraguan.[3][19]
Ketiga, perkara yang belum jelas status halal atau haramnya. Misalnya, ketika seseorang bepergian ke wilayah yang mayoritas penduduknya nonmuslim dan ia makan di restoran yang ada di wilayah tersebut.[3]
Secara bahasa, makruh artinya sesuatu yang dibenci. Makruh merupakan perkara yang dilarang tetapi larangan tersebut bersifat tidak pasti. Suatu perbuatan dikatakan makruh apabila ditinggalkan dirasa lebih baik daripada mengerjakannya. Misalnya, berkumur atau memasukkan air ke hidung secara berlebihan saat puasa Ramadan.[20]
Makruh dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih. Makruh tahrim adalah sesuatu yang secara pasti dilarang oleh syariat, seperti larangan memakai perhiasan emas bagi laki-laki. Sementara makruh tanzih adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya tetapi larangan tersebut bersifat tidak pasti, seperti memakan daging kuda ketika dalam kondisi perang, mengonsumsi makanan berbau menyengat (petai, jengkol, bawang putih dan sebagainya), meniup makanan dan minuman panas, minum sambil berdiri dan lain-lain.[20][21]
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pada masa Rasulullah pernah ada larangan memakan daging kuda tetapi sifatnya sementara karena kebutuhan kondisional saat itu, di mana kuda menjadi bagian dari alat perang. Ada pun kalangan ulama yang memakruhkan adalah ulama Hanafiyah, termasuk Abu Hanifah sendiri dan dua murid dekatnya, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.[22]
Memakan makanan berbau menyengat dan tidak sedap dikategorikan sebagai makruh apabila dimakan ketika hendak salat berjamaah di masjid. Bau yang menyengat dari makanan tersebut akan menyakiti atau mengganggu kenyamanan jamaah lain yang hendak beribadah.[21]
Status makruh pada makanan dan minuman yang ditiup, utamanya berasal dari anjuran Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari yang berbunyi, "Apabila kalian minum, janganlah bernafas di dalam suatu wadah, dan ketika buang hajat, janganlah menyentuh kemaluan dengan tangan kanan". Lebih lanjut, Imam al-Munawi menjelaskan alasan meniup makanan dan minuman panas dimakruhkan agar tidak mengubah aroma makanan dan minuman akibat bau mulut orang yang meniupnya. Penjelasan ini dinilai masuk akal dan lebih bersifat akhlak serta etika karena pada masa itu, meniup makanan agar cepat dingin menandakan bahwa orang tersebut rakus dan tidak sabar.[23]
Tidak ada dalil, baik dalam Al-Quran maupun hadis, yang secara sahih dan tegas menjelaskan tentang keharaman mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan yang hidup di dua alam (hewan amfibi), kecuali katak. Para ulama pun berbeda pendapat terkait hal ini. Ulama Malikiyah memperbolehkannya secara mutlak, termasuk katak, kura-kura atau penyu dan kepiting. Ulama Syafi'iyah memperbolehkan secara mutlak, kecuali katak. Burung air dihalalkan asalkan disembelih sesuai syariat Islam. Sementara hewan yang sejenisnya di darat tidak dimakan atau tidak ada hewan sejenisnya di darat, hukumnya haram, seperti anjing laut, babi laut, katak, ular, buaya, penyu dan kepiting. Ulama mazhab Hambali berpandangan bahwa hewan yang hidup di dua alam tidak halal dimakan, kecuali sudah melalui jalan penyembelihan. Kepiting diperbolehkan karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hewan yang hidup di dua alam itu haram dan hewan air yang halal hanya ikan.[24][25]
Adz-dzakah memiliki makna membuat baik dan wangi. Penyembelihan disebut adz-dzakah karena diperbolehkannya penyembelihan secara syariat untuk membuatnya menjadi baik. Penyembelihan hewan dapat dilakukan secara dzabh maupun nahr. Semua hewan yang hendak dimakan harus disembelih terlebih dulu, kecuali ikan dan belalang.[26]
Dzabh adalah penyembelihan yang dilakukan dengan memotong tenggorokan, kerongkongan dan kedua urat leher hewan. Cara penyembelihannya adalah hewan direbahkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Selanjutnya penyembelih menyebut "Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar" lalu memotong tenggorokan, kerongkongan dan dua urat leher hewan dengan pisau yang tajam.[27]
Nahr adalah penyembelihan yang dilakukan dengan cara menusuk hewan pada bagian pangkal leher yang terdekat dengan dada (libbah). Penyembelihan secara nahr biasa dilakukan pada unta. Posisi ini memungkinkan alat penyembelihan mengenai jantung sehingga binatang yang akan disembelih mati dengan cepat. Cara penyembelihan dilakukan dengan cara mengikat kaki kiri depan dalam keadaan berdiri. Kemudian penyembelih menusuknya pada bagian libbah dengan membaca "Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar".[27]
Berburu hewan halal yang secara alami masih liar dan sulit ditangkap, kecuali dengan cara tertentu disebut ash-shaid. Hukum berburu adalah mubah (Qur'an Al-Ma’idah:2), kecuali untuk hewan-hewan yang diharamkan. Hal ini berlaku untuk hewan laut dan hewan darat, kecuali dalam keadaan ihram. Berburu diperbolehkan apabila diniatkan untuk penyembelihan. Jika tidak demikian, berburu diharamkan karena merusak dan membunuh hewan tanpa suatu alasan.[30]
Para ulama sepakat bahwa hewan yang boleh diburu adalah binatang laut (berupa ikan dan sejenisnya) dan binatang darat yang halal dimakan serta bukan piaraan. Alat-alat yang boleh digunakan untuk berburu ada yang disepakati bersama dan ada yang diperselisihkan berikut sifat-sifatnya. Alat-alat yang disepakati bersama boleh digunakan untuk berburu antara lain binatang yang dapat melukai (dianjurkan untuk menggunakan hewan-hewan yang sudah terlatih), besi tajam (tombak, pedang dan anak panah) dan benda tumpul (batu, kayu dan sebagainya). Mengenai penggunaan benda tumpul, seperti batu, kayu dan sebagainya, para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya benda-benda tersebut digunakan untuk berburu. Sebagian ulama membolehkannya, kecuali jika hewan bisa disembelih. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak, sebagian lainnya membedakan benda-benda tersebut menjadi benda-benda yang dapat menembus tubuh hewan buruan dan yang tidak bisa menembus. Jika menggunakan benda yang bisa menembus, hewan buruan tersebut boleh dimakan. Begitu pula sebaliknya. Pendapat terakhir inilah yang didukung oleh para ulama ahli fikih terkenal di berbagai kota, seperti Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Ahmad, Ats-Tsauri dan sebagainya. Menurut mereka, jika tidak menggunakan benda tajam, sembelihan itu tidak sah.[31]
Sebagaimana halnya penyembelihan, pemburu yang menangkap hewan buruan haruslah seorang muslim atau ahli kitab.[32] Jika berburu dilakukan menggunakan hewan pemangsa, seperti rajawali, elang, anjing, harimau dan hewan lain yang dapat dilatih untuk berburu, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Orang yang berihram tidak boleh membunuh hewan buruan darat, menangkap atau menunjuknya agar ditangkap, kecuali hewan berbahaya yang biasanya menyerang, seperti singa, serigala, ular, tikus, kalajengking dan anjing buas. Namun, mereka diperkenankan membunuh semua hewan laut, menyembelih hewan ternak yang jinak (misalnya, unta, sapi dan kambing) dan menyembelih unggas yang tidak terbang (misalnya, ayam). Ada pun dalil mazhab Hanafi yang membolehkan orang yang berihram memakan semua hewan buruan yang ditangkap oleh orang lain yang tidak sedang ihram berasal dari hadis Abu Qatadah. Sementara jumhur yang berpendapat mengenai diharamkannya orang yang berihram memakan daging hewan buruan darat yang ditangkapkan untuknya berasal dari hadis ash-Sha'ab bin Jatstsamah.[33].
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh; sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa, 'Wahai Tuhanku! Wahai Tuhanku!'. Padahal makanannya dari barang yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram. Maka, bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?" (HR Muslim no.1015).[34]
Tujuan dan tugas manusia semasa hidup adalah untuk beribadah dan mengabdi pada Allah (Qur'an Az-Zariyat:56). Oleh karena itu, agar ibadah dan doa seorang hamba dapat diterima oleh Allah, ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib sebagai bagian dari syarat diterimanya ibadah dan doa.[34]
Pada tahun 2008, pasar halal global diperkirakan telah mencapai nilai pasar sebesar US$ 580 miliar per tahun dengan industri makanan halal meningkat sebesar 7% setiap tahunnya. Peningkatan ini didukung oleh pertumbuhan penduduk muslim dan peningkatan kesejahteraan hidup mereka di seluruh dunia. Pertumbuhan pasar halal global juga didukung oleh peningkatan semangat beragama dan keyakinan bahwa produk halal lebih bersih dan sehat.
Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara
Suatu saat penulis bertanya kepada seorang guru, dimana posisi hukum dalam agama Islam? Beliau menjawab bahwa hukum merupakan bagian dari Islam. Ajaran hukum lebih kecil dibanding dengan ajaran Islam yang luas antara lain terkait aqidah, akhlaq, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan hukum umumnya dikaitkan dengan ibadah dan muamalah yang menjadi domain fiqh.
Muhammad Adnan mengatakan, agama diterjemahkan dari bahasa Arab Ad-Din, Asy-syari’ah at-Thoriqoh, dan Millah yang diartikan sebagai peraturan dari Allah untuk manusia berakal, untuk mencari keyakinan, mencapai jalan bahagia lahir bathin, dunia akhirat, bersandar kepada wahyu-wahyu ilahi yang terhimpun dalam Kitab Suci yang diterima oleh Nabi Muhammad.
Islam menurut A. Gaffar Ismail ialah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang berisi kelengkapan dari pelajaran-pelejaran yang meliputi : (a) kepercayaan; (b) seremoni-peribadahan; (c) tata tertib kehidupan pribadi; (d) tata tertib pergaulan hidup; (e) peraturan-peraturan Tuhan; (f) bangunan budi pekerti yang utama, dan menjelaskan rahasia kehidupan yang akhirat.
Hukum sendiri berasal dari bahasa arab hakama-yahkumu-hukman (masdar) yang dalam Kamus Arab-Indonesia Mahmud Junus diartikan dengan menghukum dan memerintah. Hukum juga diartikan dengan memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan. Menurut Muhammad Daud Ali, hukum dapat dimaknai dengan norma, kaidah, ukuran, tolak ukur, pedoman yang digunakan untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam ushul fiqh, hukum syar’i diartikan dengan khitab (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/mani’)
Maksud dari khitabullah ialah semua bentuk dalil-dalil hukum yang bersumber dari Qur’an, Sunnah serta ijma’ dan qiyas. Menurut Abdul Wahab Khalaf, yang dimaksud dengan dengan dalil hanya Qur’an dan Sunnah, sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan upaya ijtihadi untuk menyingkap hukum dari Qur’an dan Sunnah. Kita tahu, ada banyak metode ijtihad untuk menggali hukum syar’i, antara lain : qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, al-‘adah, dan fathu ad-dzari’ah dan sadd al-dzari’ah.
Hukum Islam secara umum dapat dibagi menjadi dua, pertama, hukum taklifi yang terdiri dari al-wujub (wajib), an-nadbu (sunnat), al-ibahah (mubah), al-karoheh (makruh), dan al-haromah (haram). Contohnya, wajib puasa bulan Romadhan, haramnya minum khamar, mubahnya makan minum, serta makruhnya merokok. Kedua, hukum wadh’iy yang didalamnya ada sebab, syarat, mani’, sah-batal, rukhsoh-‘azimah. Contohnya, waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab wajibnya seorang mukallaf menunaikan sholat dzuhur, wudhu’ menjadi syarat sahnya sholat, haid menjadi penghalang (mani’) seorang perempuan melakukan kewajiban sholat atau puasa.
Pemikiran di atas memperlihatkan bahwa ada perbedaan antara Islam sebagai agama, dan hukum sebagai bagian dari agama Islam. Perbedaan tersebut sangat kecil, karena itu ada tiga konsep yang wajib diketahui dan dipahami oleh seorang muslim, yaitu syari’ah, fiqh, dan qonun. Mengetahui ketiganya akan mengantarkan kepada seorang muslim untuk mengerti mana wilayah yang tidak mungkin berubah dan tunggal, serta mana wilayah yang bisa berubah dan berbeda-beda tafsirnya.
Menurut Hasbi As-Shiddieqy, syariat berarti jalan tempat keluarnya sumber mata air atau jalan yang dilalui air terjun yang diasosiakan oleh orang Arab sebagai at-thhariqah al-mustaqimah. Secara terminologi, syariat berarti tata aturan atau hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti (Qs. Al-Jasiyah : 18). Fiqh menurut Fathurrman Djamil ialah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah. Fiqh memiliki keterkaitan dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang bersumber pada dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qonun biasa diartikan dengan Undang-Undang. Ulama’ salaf mendefinisikannya sebagai kaidah-kaidah yang bersifat kully (menyeluruh) yang didalamnya tercakup hukum-hukum juz’iyyah (bagian-bagiannya). Qonun umumnya dibuat oleh pemerintah yang berkuasa.
Syari’ah, fiqh dan qonun berbeda. Ajaran syari’at tedapat dalam Qur’an dan hadist yang tidak mungkin berubah teksnya, bersifat fundamental, abadi karena merupakan ketetapan Allah dan Nabi Muhammad, tunggal yang meperlihatkan konsep kesatuan Islam. Sedangkan fiqh dan qonun merupakan produk pemahaman manusia yang menggali hukum dalam Qur’an dan hadist, bersifat instrumental, mengalami perubahan sesuai waktu, zaman serta keadaan. Realitasnya seperti yang kita ketahui saat ini, dimana produk hukum fiqh dan qonun cenderung berbeda-beda sesuai madzhab yang sangat beragam. Kita bisa lihat perbedaan-perbedaan tersebut dalam kitab-kitab fiqh perbandingan.
Uraian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa saat kita memeluk agama Islam kita satu, syariatnya tunggal yaitu Al-Qur’an dan Hadist, tetapi saat bersamaan kita umumnya mengikuti ‘hukum’ atau ‘qonun’ madzhab tertentu, disitulah beberapa praktik keagamaan umat Islam berbeda-beda. Dalam konteks ini, biar tidak kagetan dan apalagi sampai mengkafirkan, umat Islam dituntut untuk belajar ilmu-llmu yang menjadi basis hukum dalam Islam seperti ilmu Ushul Fiqh, Qowaidul Fiqh, Perbadingan Madzhab, Maqosid Syari’ah, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, Ulumul al- Tafsir, dan Ilmu Mantiq (Logika).
Tulisan ini telah dimuat dalam UII News edisi Maret 2021.
YOGYAKARTA- Kajian jelang berbuka di masjid Islamic Center UAD pada hari Sabtu (30/03) membahas tema tentang hukum dan Islam yang disampaikan oleh M. Habibi Miftakhul Marwa SHI, MH (Dosen Fakultas Hukum UAD) selaku pemateri.
Mengutip dari Rene David guru besar hukum dan ekonomi universitas Paris, Habibi menyampaikan bahwa tidak mungkin orang memperoleh gambaran yang jelas tentang Islam sebagai suatu kebulatan, jika orang tidak mempelajari hukumnya. Kemudian kerangka dalam Islam itu ada 3, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Akidah berbicara tentang keyakinan dan keimanan serta bagaimana tentang ketauhidan. Syariah adalah sistem hukum yang ada di dalam ajaran agama Islam. Syariah merupakan kumpulan norma ilahi yang Allah turunkan kepada umat manusia. Akhlak secara garis besar adalah sistem etika dan moral yang ada di dalam ajaran agama Islam. Antara ketiga kerangka tersebut terdapat satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan. Islam memiliki kumpulan aturan yang lengkap hampir bisa dikatakan setiap aktivitas yang ada di dalam kehidupan manusia ini Islam memiliki sistem aturan. Aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah dalam syariat itu ada aturan yang mengatur terkait tata cara beribadah dan membangun hubungan dengan Allah SWT. Islam juga mengatur tata cara membangun hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang disebut dengan muamalah.
Kemudian Habibi juga menjelaskan terkait perbedaan syariat dan hukum. Di mana syariat itu adalah kumpulan norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (ibadah), hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan (muamalah).
Dan hukum merupakan suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur atau mengatur masyarakat atau aturan apapun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti aturan dari perlemen. Manusia harus di atur agar manusia bisa hidup tertib agar tidak terjadi konflik. Dia juga menyampaikan bisa disebut hukum apabila memenuhi 4 unsur yaitu ada aturan, ada yang membuat, bersifat memaksa, ada sanksinya bagi para pelanggar aturan.
“Kedudukan hukum dalam Islam saling terikat karena Islam menjadi agama paripurna yang berisi aturan-aturan dan yang menjadi sumber hukum utama dalam Islam adalah Alquran dan hadis. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum umat Islam.” Terangnya.
Dalam Alquran memiliki kandungan hukum, seperti pada surat surat madaniyah kandungannya berkaitan dengan hukum. Ayat-ayat hukum di dalam Alquran ada sekitar 368 ayat atau sekitar 5,8 persen dari seluruh ayat di dalam Alquran. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum telah meletakkan hukum-hukum modern di tengah masyarakat arab yang masih jahiliah. Nabi Muhammad datang membawa perubahan terkait sistem hukum yang ada di Arab pra Islam. (Ekha Yulia Ningsih)
Perlombaan atau musabaqah telah menjadi bagian dari aktifitas manusia sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai macam hal yang diperlombakan di masyarakat. Terkadang perlombaan juga disertai dengan adanya hadiah bagi pemenangnya. Bagaimana hukum perlombaan dalam islam?
Musabaqah dari as sabqu yang secara bahasa artinya:
القُدْمةُ في الجَرْي وفي كل شيء
“Berusaha lebih dahulu dalam menjalani sesuatu atau dalam setiap hal” (Lisaanul Arab).
Maka musabaqah artinya kegiatan yang berisi persaingan untuk berusaha lebih dari orang lain dalam suatu hal. Disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (2/155):
المسابقة: هي المجاراة بين حيوان وغيره، وكذا المسابقة بالسهام
“Musabaqah adalah mempersaingkan larinya hewan atau selainnya, demikian juga persaingan dalam keahlian memanah”.
Hukum Perlombaan Dengan Taruhan
Untuk lomba-lomba yang dibolehkan untuk diperlombakan, bolehkan ada taruhan? Sebelum membahas hukum perlombaan dengan taruhan dalam islam, maka perlu kita rinci mengenai jenis-jenis hadiah lomba. Hadiah lomba ditinjau dari penyedianya ada tiga macam:
1. Yang menyediakan hadiah adalah salah satu peserta lomba.
Semisal Fulan dan Alan berlomba. Maka Fulan mengatakan: “Kalau kamu bisa mengalahkan saya maka silakan ambil uang saya 100 dinar”. Maka ini hukumnya boleh dan hadiahnya halal.
Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (24/128):
إِذَا كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ بَيْنَ فَرِيقَيْنِ أَخْرَجَ الْعِوَضَ أَحَدُ الْجَانِبَيْنِ الْمُتَسَابِقَيْنِ كَأَنْ يَقُول أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: إِنْ سَبَقْتَنِي فَلَكَ عَلَيَّ كَذَا، وَإِنْ سَبَقْتُكَ فَلاَ شَيْءَ لِي عَلَيْكَ. وَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي جَوَازِ هَذَا
“Jika perlombaan dilakukan antara dua orang atau dua kelompok. Lalu salah satu peserta menyediakan hadiah, semisalnya ia mengatakan: “Jika engkau bisa mengalahkan saya, maka engkau bisa mendapatkan barang saya ini, kalau saya yang menang maka saya tidak mengambil apa-apa darimu”. Maka tidak ada khilaf di antara ulama bahwa ini dibolehkan”.
2. Yang menyediakan hadiah adalah penguasa atau orang lain di luar peserta lomba.
Semisal lomba yang diadakan pemerintah atau diadakan oleh perusahaan dan hadiah dari perusahaan, maka hukumnya boleh dan hadiahnya halal.
Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (24/128):
أَنْ يَكُونَ الْعِوَضُ مِنَ الإِْمَامِ أَوْ غَيْرِهِ مِنَ الرَّعِيَّةِ، وَهَذَا جَائِزٌ لاَ خِلاَفَ فِيهِ، سَوَاءٌ كَانَ مِنْ مَالِهِ أَوْ مِنْ بَيْتِ الْمَال؛ لانَّ فِي ذَلِكَ مَصْلَحَةً وَحَثًّا عَلَى تَعَلُّمِ الْجِهَادِ وَنَفْعًا لِلْمُسْلِمِينَ
“Jika hadiah disediakan oleh pemerintah atau dari masyarakat (yang tidak ikut lomba), maka ini dibolehkan tanpa ada khilaf di dalamnya. Baik dari harta pribadi penguasa atau dari Baitul Mal. Karena di dalamnya terdapat maslahah berupa motivasi bagi masyarakat untuk mempelajari berbagai ketangkasan untuk berjihad dan juga bisa bermanfaat bagi kaum Muslimin”.
3. Yang menyediakan hadiah adalah para peserta lomba.
Maka ini merupakan rihan atau murahanah (taruhan). Namun ulama khilaf apakah dibolehkan bagi lomba-lomba yang disyariatkan untuk dilakukan dengan taruhan dalam tiga pendapat:
Namun hadits ini derajatnya lemah. Dijelaskan kelemahannya oleh Al Bazzar (Musnad Al Bazzar, 14/229), Ibnu Adi (Al Kamil fid Du’afa, 4/416), Ibnu Taimiyah (Bayanud Dalil, 83), dan Ibnul Qayyim (Al Furusiyyah, 212).
Wallahu ta’ala a’lam pendapat yang rajih dalam pandangan kami adalah pendapat kedua. Karena dalam hadits disebutkan:
لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ
“Tidak boleh ada lomba (berhadiah), kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta”
Hadits ini menggunakan lafadz “laa sabaqa”. Sedangkan makna as sabaq secara bahasa adalah:
ما يجعل من المال رَهْناً على المُسابَقةِ
“Yang dipertaruhkan dalam perlombaan.” (Lisaanul ‘Arab).
Maka zhahir hadits ini menunjukkan bolehnya taruhan dalam tiga lomba yang disebutkan dalam hadits. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
لا يجوز الرهان إلا في مسائل ثلاث: في الخيل والإبل والمسابقة على الرمي، لقوله -صلى الله عليه وسلم-: “لا سبق إلا في نصل أو خف أو حافر”. هذا يجوز له المراهنة بالمال، يعني جعل مال لمن سبق بالرمي من أصاب الهدف أول، أو بالخيل أو بالإبل، من سبق يكون له كذا وكذا، هذا فعله النبي -صلى الله عليه وسلم- سابق بين الخيل وأعطى السبق
“Tidak diperbolehkan taruhan kecuali pada tiga lomba: balap kuda, balap unta dan memanah. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam: ‘Tidak boleh ada lomba, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta’. Untuk lomba-lomba ini dibolehkan taruhan dengan harta. Yaitu ju’alah berupa harta bagi orang yang paling tepat sasaran ketika memanah atau paling awal sampai ketika balap kuda atau unta. Yang menang mendapatkan ini dan itu. Ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam lomba balap kuda, dan beliau memberikan hadiah.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/28957).
Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Ini jika lomba yang diperlombakan termasuk lomba yang diizinkan oleh syariat sebagaimana telah dijelaskan. Jika lomba yang diperlombakan tidak termasuk lomba yang diizikan oleh syariat dan terdapat taruhan di sana maka hukumnya terlarang karena dua hal:
Allah Ta’ala berfirman melarang qimar dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
أما المسابقة بالأقدام أو بالمطارحة أو ما أشبه ذلك، هذا ما يجوز هذا يسمى قمار, ما يجوز, وكذلك لو جعل –مثلاً- من أصاب رقم كذا أو كذا يعطى سيارة أو يعطى كذا أو يعطى كذا، على أن يقدم كل واحد عشرين ريال أو خمسين ريال أو مئة ريال يقيد عندهم فمن أصاب الرقم الفلاني أخذ السيارة أو أخذ شيء آخر من المال هذا من القمار ما يجوز هذا
“Adapun (taruhan pada) perlombaan balap jalan atau lemparan atau semisalnya (yang tidak diizinkan syariat) ini tidak diperbolehkan. Inilah yang disebut qimar. Tidak diperbolehkan. Demikian juga misalnya orang yang membayar 20 riyal atau 50 riyal atau 100 riyal lalu mendapat kupon dan nomor kupon tertentu akan mendapatkan mobil atau hadiah yang lain, ini adalah qimar (judi) dan tidak diperbolehkan” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/28957).
Demikian, semoga bermanfaat bahasan hukum perlombaan dalam islam yang ringkas ini. Wabillahi at taufiq was sadaad.
Baca Juga: Judi dalam Kuis SMS Berhadiah
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id
Pernikahan dalam Islam adalah salah satu institusi yang paling penting dalam kehidupan umat Muslim. Menurut ajaran Islam, pernikahan dianggap sebagai ikatan suci antara seorang pria dan seorang wanita yang saling mencintai dan ingin membangun kehidupan bersama. Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa aspek hukum pernikahan dalam Islam.
Sebelum menikah, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon suami dan istri dalam Islam. Pertama-tama, keduanya harus memiliki kemampuan untuk menikah. Hal ini berarti bahwa mereka harus memiliki kesehatan yang cukup, kecukupan ekonomi, dan kemampuan mental dan emosional untuk menjalani kehidupan pernikahan.
Selain itu, dalam Islam, seorang pria dapat menikah dengan wanita Muslim, wanita Yahudi atau Kristen yang hidup dalam lingkungan Islam atau agama lain yang diakui oleh Islam. Namun, seorang wanita Muslim hanya dapat menikah dengan pria Muslim.
Proses pernikahan dalam Islam terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah lamaran, di mana calon suami mengajukan permohonan kepada calon istri untuk menikah. Kemudian, jika permohonan tersebut diterima, proses pernikahan dilanjutkan dengan upacara ijab kabul, di mana pihak calon suami mengucapkan janji nikah dan pihak calon istri menerima dengan mengucapkan kata “qabul”.
Setelah proses ijab kabul selesai, proses pernikahan dilanjutkan dengan akad nikah, di mana pernikahan diresmikan dengan menandatangani kontrak pernikahan atau akad nikah. Akad nikah ini dilakukan oleh seorang imam atau hakim di hadapan saksi-saksi yang sah.
Dalam Islam, suami dan istri memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjalani kehidupan pernikahan. Suami harus memberikan nafkah dan perlindungan kepada istri, sementara istri harus menaati suami dan membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Meskipun Islam memandang pernikahan sebagai institusi suci, namun dalam beberapa situasi perceraian dapat terjadi. Menurut ajaran Islam, perceraian dapat terjadi baik atas kesepakatan bersama antara suami dan istri maupun atas permintaan salah satu pihak.
Namun, sebelum melakukan perceraian, Islam mengajarkan bahwa suami dan istri harus melakukan upaya maksimal untuk memperbaiki hubungan mereka. Mereka harus mencoba untuk memperbaiki komunikasi dan menyelesaikan masalah yang terjadi di antara mereka.
Islam mengizinkan suami untuk memiliki hingga empat istri, asalkan dia dapat memberikan nafkah dan perlindungan kepada semua istri dan anak-anak mereka. Namun, poligami dalam Islam tidak dianjurkan, dan seorang suami harus memperlakukan semua istri dan anak-anak mereka dengan adil.
%PDF-1.6
%âãÏÓ
1890 0 obj
<>
endobj
xref
1890 34
0000000016 00000 n
0000002811 00000 n
0000003176 00000 n
0000003333 00000 n
0000003764 00000 n
0000003939 00000 n
0000004180 00000 n
0000004486 00000 n
0000004544 00000 n
0000005060 00000 n
0000005230 00000 n
0000005466 00000 n
0000006036 00000 n
0000006558 00000 n
0000006936 00000 n
0000007394 00000 n
0000007778 00000 n
0000008148 00000 n
0000008210 00000 n
0000008521 00000 n
0000008960 00000 n
0000009362 00000 n
0000009527 00000 n
0000009574 00000 n
0000009916 00000 n
0000009972 00000 n
0000010365 00000 n
0000013036 00000 n
0000013075 00000 n
0000090933 00000 n
0000247770 00000 n
0000248009 00000 n
0000248235 00000 n
0000000976 00000 n
trailer
<]>>
startxref
0
%%EOF
1923 0 obj
<>stream
xÚÔWklU>3³ÓÝE¥,}í.ÝnÛíc-l
PROSPEKTIF HUKUM ISLAM DI INDONESIA(Pelembagaan, Perubahan dan Prospektif)oleh : Drs. H. Anshoruddin, SH.,MA.(Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak)
I. PENDAHULUANKata hukum itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang kita pakai berasal dari bahasa Arab, hukm. Artinya norma atau kaidah, yaitu ukuran, tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hazairin mengatakan, bahwa hubungan arti kata hukum dalam kedua bahasa tersebut sangat erat, sebab, setiap peraturan, apapun macamnya dan sumbernya mengandung norma atau kaidah sebagai intinya.Di dalam Islam ada lima hukm atau kaidah, yang dijadikan patokan perbuatan manusia, baik beribadah maupun bermuamalah. Lima kaidah itu adalah (1) Wajib, (2) Sunnah, (3) Mubah, (4) Makruh dan (5) Haram. Kelimanya bisa disebut Al Ahkam Al Khamzah atau hukum yang lima. Wajib adalah suatu kaidah Hukum Islam yang mengandung perintah harus dilaksanakan dengan mendapat pahala dan berakibat mendapat dosa bila meninggalkannya. Sunnah mengandung suatu anjuran untuk melaksanakan sesuatu yang akan memberi manfaat memperoleh pahala bagi pelaku dan tidak ada konsekuensi menanggung dosa bila meninggalkannya. Makruh, merupakankaidah yang mengandung muatan selayaknya tidak dilakukan dengan mendapatkan pahala dan bila dilakukan akan mendapatkan kerugian bagi pelaku tidak berdosa. Sedang kaidah yang memberikan kewenangan kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah mubah. Sementara haram merupakan kaidah yang mengandung larangan untuk dilakukan dengan konsekuensi mendapat dosa, namun bila ditinggalkan akan mendapat pahala.
Selengkapnya KLIK DISINI