Caption foto : Dalam konteks pendakian gunung, FOMO sering kali muncul ketika seseorang merasa tertekan untuk mengikuti tren atau mencapai tujuan yang dianggap keren atau mengesankan oleh orang lain. (WARTAPALA INDONESIA / Metala FEB UMS).
Oleh : Arif Ginanjar Pratama Ketua Umum Metala FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wartapalaindonesia.com, PERSPEKTIF – Dalam dunia yang dipenuhi dengan kemajuan teknologi dan konektivitas tanpa batas, banyak dari kita yang merasa terjebak dalam perasaan takut akan kehilangan kesempatan, atau dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FOMO).
Salah satu cara yang semakin populer untuk mengatasi FOMO adalah dengan mengejar tantangan fisik dan mental melalui pendakian gunung.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah pendakian gunung benar-benar dapat membantu kita menyelaraskan ambisi dan kepuasan pribadi, ataukah ia justru memperburuk perasaan FOMO?
Pendakian gunung sering kali dianggap sebagai bentuk ekstrem dari pencapaian pribadi. Mendaki puncak gunung bukan hanya tentang mencapai titik tertinggi secara fisik, tetapi juga tentang mengatasi batasan pribadi dan mental.
Bagi banyak orang, pendakian gunung adalah simbol pencapaian, keberanian, dan ketahanan. Setiap langkah menuju puncak membawa seseorang lebih dekat kepada tujuan yang telah mereka tetapkan, dan pencapaian ini sering kali memberikan rasa kepuasan yang mendalam.
Ambisi pribadi dalam pendakian gunung bisa beragam. Bagi sebagian orang, itu mungkin tentang mencapai puncak gunung yang menantang sebagai bentuk prestasi diri. Bagi yang lain, itu bisa menjadi cara untuk membuktikan sesuatu kepada diri sendiri atau orang lain.
Pendakian gunung sering kali membawa kepuasan yang besar ketika tujuan tercapai. Perasaan berdiri di puncak dan melihat dunia dari ketinggian yang baru, memberikan rasa pencapaian yang sulit dicapai dalam konteks lain.
Namun, ambisi yang kuat ini juga dapat menjadi pedang bermata dua. Kadang-kadang, ambisi ini dapat mengaburkan motivasi asli dan menyebabkan seseorang merasa terdorong untuk mencapai sesuatu hanya karena dorongan sosial atau untuk memenuhi standar yang tidak realistis.
FOMO dapat mempengaruhi keputusan pendakian gunung dengan cara yang signifikan. Misalnya, seseorang mungkin merasa terdorong untuk mendaki gunung yang ekstrem atau terkenal hanya karena melihat foto-foto puncaknya yang menakjubkan di media sosial. Ini bisa menyebabkan individu membuat keputusan yang tidak mempertimbangkan kesiapan fisik atau mental mereka sendiri, tetapi lebih berfokus pada pencapaian yang dianggap keren atau mengesankan oleh orang lain.
Kasus-kasus di mana FOMO mempengaruhi pendakian sering kali terlihat pada individu yang terjebak dalam siklus perbandingan dan tekanan sosial. Mereka mungkin merasa bahwa mereka harus mengejar pencapaian ekstrem atau mendaki gunung yang sangat menantang untuk merasa dihargai atau diakui, alih-alih mengikuti minat dan kemampuan mereka sendiri.
Fear of Missing Out (FOMO) adalah fenomena psikologis yang merujuk pada rasa kecemasan atau ketidaknyamanan yang timbul dari perasaan bahwa orang lain mungkin memiliki pengalaman yang lebih memuaskan daripada yang kita miliki. Di era media sosial, FOMO semakin diperburuk oleh eksposur konstan terhadap pencapaian dan gaya hidup orang lain.
Dalam konteks pendakian gunung, FOMO sering kali muncul ketika seseorang merasa tertekan untuk mengikuti tren atau mencapai tujuan yang dianggap keren atau mengesankan oleh orang lain. Media sosial memainkan peran besar dalam hal ini. Foto-foto menakjubkan dari puncak gunung yang indah, pengalaman ekstrem, dan pencapaian luar biasa yang dibagikan oleh orang lain, dapat menimbulkan rasa kekurangan dan dorongan untuk mengejar pencapaian serupa.
Ketika FOMO mempengaruhi keputusan untuk mendaki gunung, itu bisa menyebabkan seseorang memilih rute atau tantangan yang tidak sesuai dengan minat atau kemampuan pribadi mereka.
Misalnya, seseorang mungkin merasa terdorong untuk mendaki gunung yang ekstrem hanya karena melihat foto-foto inspiratif dari teman-teman atau influencer, tanpa mempertimbangkan kesiapan fisik atau mental mereka sendiri. Ini dapat mengarah pada pengalaman yang tidak memuaskan atau bahkan berbahaya, jika tidak disertai dengan persiapan yang memadai.
Menyeimbangkan Ambisi dan Kepuasan Pribadi
Menghadapi FOMO dalam dunia pendakian gunung memerlukan refleksi dan penyesuaian diri. Untuk benar-benar mencapai kepuasan pribadi, penting untuk menyelaraskan ambisi dengan motivasi asli dan kebutuhan diri sendiri. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat membantu dalam mencapai keseimbangan ini:
1. Menetapkan Tujuan yang Realistis dan Pribadi Alih-alih membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Tetapkan tujuan pendakian yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan ambisi pribadi Anda. Ini membantu memastikan bahwa pencapaian Anda berakar pada motivasi yang tulus, bukan sekadar dorongan dari luar.
Misalnya, jika seseorang benar-benar menikmati pendakian gunung dengan pemandangan yang indah tetapi tidak terlalu tertarik pada tantangan ekstrem, maka menetapkan tujuan untuk mendaki gunung dengan pemandangan yang menenangkan dapat lebih memuaskan daripada mengejar gunung yang terkenal sulit.
2. Mengelola Ekspektasi dari Media Sosial Cobalah untuk membatasi paparan terhadap foto dan cerita yang dapat memperburuk FOMO. Ingatlah bahwa apa yang dibagikan di media sosial sering kali hanya cuplikan dari pengalaman yang telah disaring, dan tidak selalu mencerminkan realitas penuh. Media sosial dapat memperburuk FOMO dengan terus-menerus menampilkan gambar dan cerita tentang pencapaian orang lain.
Untuk mengelola ekspektasi, penting untuk mengingat bahwa media sosial sering kali menyajikan versi yang telah disaring dan ideal dari realitas. Fokuskan perhatian pada pengalaman pribadi dan nikmati perjalanan Anda tanpa membandingkannya secara konstan dengan apa yang terlihat di media sosial.
3. Fokus pada Proses, Bukan Hanya Hasil Nikmati setiap langkah perjalanan pendakian dan hargai kemajuan kecil. Proses pendakian — bukan hanya puncaknya — merupakan bagian penting dari pengalaman dan memberikan peluang untuk pertumbuhan pribadi, serta merupakan bagian integral dari pengalaman dan dapat memberikan kepuasan yang mendalam.
Menikmati perjalanan, berfokus pada pengalaman, dan menghargai kemajuan kecil dapat membantu menciptakan kepuasan yang lebih besar.
4. Berbicara dengan Sesama Pendaki Diskusikan motivasi dan pengalaman Anda dengan pendaki lain untuk mendapatkan perspektif yang lebih seimbang. Mendengarkan cerita dan pengalaman orang lain dapat membantu Anda memahami berbagai motivasi dan menilai apakah ambisi Anda selaras dengan kepuasan pribadi Anda.
Contoh Kasus dan Refleksi
Misalnya, seorang pendaki bernama Ilham memutuskan untuk mendaki gunung yang sangat terkenal setelah melihat banyak foto inspiratif di media sosial. Dia merasa tertekan untuk mengikuti jejak para influencer yang sering memposting foto di puncak gunung tersebut.
Namun, setelah beberapa bulan pelatihan intensif, Ilham merasa bahwa dia telah mengabaikan kebutuhan pribadinya untuk waktu istirahat dan refleksi. Selama pendakian, meskipun mencapai puncak, Ilham tidak merasakan kepuasan yang diharapkannya karena dia terlalu fokus pada pencapaian yang dilihat orang lain.
Di sisi lain, seorang pendaki bernama Ahmad memilih untuk mendaki gunung lokal yang sesuai dengan tingkat kebugarannya dan memiliki makna pribadi.
Ahmad menikmati proses persiapan dan perjalanan, serta merasa sangat puas ketika mencapai puncak. Pengalamannya menunjukkan bahwa ketika ambisi diselaraskan dengan kebutuhan dan minat pribadi, kepuasan dapat lebih dirasakan.
Pendakian gunung adalah aktivitas yang menawarkan kesempatan untuk menguji diri dan meraih kepuasan pribadi. Namun, dalam era FOMO dan media sosial, penting untuk menyadari bagaimana ambisi dan dorongan eksternal dapat memengaruhi keputusan kita.
Menetapkan tujuan yang realistis, mengelola ekspektasi media sosial, dan fokus pada proses perjalanan dapat membantu menyelaraskan ambisi dengan kepuasan pribadi.
Dengan cara ini, pendakian gunung dapat menjadi pengalaman yang benar-benar memuaskan dan memperkaya, bukan hanya sebagai upaya untuk mengejar pencapaian yang didorong oleh FOMO. (agp)
Editor || Ahyar Stone, WI 21021 AB
Kirim tulisan Anda untuk diterbitkan di portal berita Pencinta Alam www.wartapalaindonesia.com || Ke alamat email redaksi Wartapala Indonesia di [email protected] || Informasi lebih lanjut : 081333550080 (WA)
tirto.id - Di media sosial, sedang ramai istilah "FOMO Konser", hal ini berkaitan dengan beberapa selebgram yang dianggap FOMO konser Blackpink.
Warganet mencibir selebgram yang bukan fans Blackpink atau bukan pendengar Kpop tetapi ikut-ikutan nonton konser, bahkan membeli tiket paling mahal.
Mereka menganggap para selebgram ini FOMO konser. Apa itu FOMO konser dan mengapa FOMO berkaitan dengan media sosial?
FOMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out atau rasa takut ketinggalan. Ini adalah respons emosional terhadap ketakutan tidak bisa mengikuti tren atau sesuatu yang sedang berjalan.
FOMO sering menyebabkan perasaan tidak nyaman, ketidakpuasan, depresi dan stres. Maraknya media sosial telah meningkatkan prevalensi FOMO selama beberapa tahun terakhir.
FOMO disebabkan oleh perasaan cemas seputar gagasan bahwa pengalaman menarik atau peluang penting terlewatkan atau diambil.
Menurut Tech Target, FOMO dihasilkan oleh amigdala - bagian otak yang mendeteksi apakah sesuatu merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup atau tidak.
Bagian otak ini merasakan kesan ditinggalkan sebagai ancaman, menciptakan stres dan kecemasan. Seseorang akan lebih mungkin mengalami FOMO jika sudah sangat sensitif terhadap ancaman lingkungan.
Ini termasuk orang-orang yang bergumul dengan kecemasan sosial, perilaku obsesif atau kompulsif -- termasuk gangguan obsesif-kompulsif yang didiagnosis -- atau memiliki bentuk trauma emosional di masa lalu.
Ponsel cerdas dan media sosial telah meningkatkan terjadinya FOMO dengan menciptakan situasi di mana pengguna terus-menerus membandingkan kehidupan mereka dengan pengalaman ideal yang mereka lihat diposting secara online.
Aplikasi dan situs web seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan Snapchat memudahkan untuk melihat apa yang dilakukan orang lain.
Versi glamor kehidupan mereka yang disiarkan di fitur-fitur seperti Instagram Stories atau wall Facebook mengubah perasaan pengguna tentang apa yang normal dan membuat mereka berpikir bahwa mereka melakukan lebih buruk daripada rekan-rekan mereka.
Orang-orang melihat ke luar pada pengalaman orang lain daripada ke dalam pada hal-hal besar dalam hidup mereka.
Pemasaran FOMO telah muncul sebagai cara untuk membujuk konsumen membeli produk tertentu atau menghadiri acara.
Pemasaran FOMO memicu ketakutan pelanggan akan kehilangan untuk menginspirasi mereka mengambil tindakan. Beberapa strategi pemasaran FOMO meliputi:
Sementara pemasaran FOMO berhasil membuat orang membeli lebih banyak, hal itu berdampak negatif pada konsumen dengan memicu depresi dan kecemasan yang ditimbulkan oleh FOMO.
tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia PutsanraEditor: Addi M Idhom
Fomo dalam bahasa gaul. (Foto: Freepik)
MENGENAL arti kata Fomo dalam bahasa gaul. Sebuah istilah gaul baru yang sering digunakan oleh netizen di berbagai platform media sosial (medsos) seperti Instagram, TikTok, X atau Twitter, dan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Fomo seringkali digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang sedang trending atau populer di masyarakat. Fomo juga digunakan untuk menggambarkan para selebgram, seleb internet dan juga sosialita yang selalu mengikuti perkembangan tren kekinian.
Lantas, apa sesungguhnya arti kata Fomo dalam bahasa gaul itu? Simak penjelasannya yang dikutip dari berbagai sumber, Jumat (6/10/2023).
Mengutip dari kamus Merriam Webster, Fomo merupakan kependekan dari fear of missing out. Fomo juga termasuk kata informal yang memiliki arti ketakutan atau kekhawatiran tidak dilibatkan dalam sesuatu seperti aktivitas menarik atau menyenangkan yang dialami orang lain.
Sementara mengutip Cambridge Dictionary, Fomo atau fear of missing out merupakan perasaan khawatir akan melewatkan acara menarik yang akan dihadiri orang lain, terutama yang disebabkan oleh hal-hal yang dilihat di media sosial.
Sederhananya, arti kata Fomo dalam bahasa gaul adalah takut ketinggalan zaman atau kekhawatiran tidak mengikuti tren yang sedang ramai di medsos maupun masyarakat.
Menilik sejarahnya, Fomo ini mulai digunakan pada 2004. Pada tahun itu, kata seperti life hack, podcast, social media, dan belasan kata lainnya juga baru digunakan di tahun tersebut.
Sementara lawan kata dari Fomo ini adalah Jomo. Jomo merupakan singkatan dari joy of missing out. Arti dari kata Jomo adalah suatu kegembiraan yang dialami ketika tidak menghadiri acara yang menarik atau sedang tren.
Demikianlah informasi dan penjelasan mengenai arti kata Fomo dalam bahasa gaul, semoga artikel ini dapat mencerahkan para pembaca semua mengenai istilah-istilah gaul baru yang beredar di medsos.
TRIBUNBENGKULU.COM - FOMO merupakan singkatan dari "Fear of Missing Out," merupakan istilah yang sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan pengguna TikTok.
Kata ini berasal dari bahasa Inggris dan mencerminkan kecemasan atau rasa takut untuk ketinggalan sesuatu yang sedang tren atau populer di kalangan teman-teman atau masyarakat umum.
Dalam konteks bahasa gaul TikTok, FOMO menjadi semacam 'gejala sosial' yang merambah ke dalam kehidupan pengguna media sosial.
Para remaja dan anak muda seringkali merasa tertekan untuk ikut serta dalam tren atau challenge yang sedang viral demi menjaga reputasi atau citra diri di dunia maya.
Salah satu dampak dari FOMO di TikTok adalah terciptanya lingkungan yang sangat kompetitif.
Pengguna merasa perlu untuk selalu up-to-date dengan tren terbaru, berlomba-lomba menciptakan konten yang menarik perhatian, dan terus menerus memperbarui profil mereka agar tetap relevan di mata teman-teman virtual.
Baca juga: Arti Kata Effortless dalam Bahasa Gaul di TikTok, Bisa Bermakna Postif dan Negatif
Tren yang terus berubah di TikTok menciptakan tekanan psikologis bagi para penggunanya.
FOMO mendorong seseorang untuk terus-menerus memeriksa aplikasi dan mengikuti tren terbaru, kadang-kadang bahkan melebihi batas kesehatan mental.
Kemunculan FOMO juga memberikan peluang bagi para kreator konten untuk mendapatkan lebih banyak pengikut.
Mereka yang dapat menangkap tren dengan cepat dan menghasilkan konten yang relevan memiliki potensi untuk menjadi terkenal dalam waktu singkat.
Tak hanya membuat seseorang ingin selalu terlibat dalam setiap tren, FOMO juga dapat mengarah pada kebiasaan menghabiskan waktu yang tidak efisien di media sosial.
Pengguna TikTok sering kali merasa sulit untuk melepaskan diri dari layar ponsel mereka karena takut kehilangan momen-momen penting yang sedang viral.
Fenomena FOMO juga menggambarkan dinamika sosial yang unik di kalangan generasi muda.
Mereka tidak hanya berinteraksi secara langsung, tetapi juga secara virtual melalui komentar, duet, dan reaksi terhadap konten satu sama lain.
Yuk, mengenal arti Fomo, Jomo, Fobo, dan Yolo!
Sudah sering mendengar istilah FOMO, JOMO, FOBO, ataupun YOLO? Keempat kata itu merupakan singkatan dari istilah bahasa Inggris yang sering digunakan sebagai bahasa gaul. Paling banyak nih, digunakan oleh generasi milenial dan gen Z.
Lantas, apa sebenarnya arti FOMO, JOMO, FOBO, dan YOLO? Ternyata istilah-istilah itu bukan hanya sebatas bahasa gaul, namun juga berkaitan dengan keadaan psikologis seseorang.
Apa itu arti FOMO, JOMO, JOBO, dan YOLO? Cari tahu artinya FOMO dulu
Sebelum mengenal semua arti FOMO, JOMO, JOBO, dan YOLO, pertama ketahui dulu arti FOMO, yuk! FOMO merupakan singkatan dari Fear of Missing Out, sementara dalam bahasa Indonesia berarti takut tertinggal.
Orang-orang yang mengalami FOMO rasanya nggak ingin ketinggalan informasi atau melewatkan hal penting yang menyenangkan. Artinya bisa juga kecemasan mengetahui orang lain memiliki momen mengasyikkan, tapi kamu nggak ikut serta di dalamnya.
Pertama kali diperkenalkan tahun 2004, arti FOMO semakin sering digunakan sampai masuk ke kamus Oxford pada 2013, lho. Kalau kamu sedang lihat update instastory teman latar tempat yang bagus langsung penasaran “Aesthetic banget spot fotonya, di mana, ya?”
Jangan-jangan saat itu kamu sedang mengalami FOMO? Cara menghindari FOMO yaitu dengan melakukan detox media sosial atau batasi waktu bermain medsos, fokus pada diri sendiri, serta selalu bersyukur.
Kalau FOMO adalah rasa cemas ketinggalan ini-itu, artinya JOMO kebalikannya, nih. JOMO merupakan singkatan dari Joy of Missing Out. Istilah bahasa gaul ini memiliki arti kamu tetap senang meski tertinggal dan menikmati apa yang sedang dilakukan saat ini.
Kamu nggak perlu membandingkan kehidupanmu dengan orang lain maupun memikirkan apa kesenangan yang sedang orang lain lakukan. Eits, tapi jangan salah kaprah memahami penggunaan bahasa gaul satu ini.
Orang-orang yang JOMO bukan berarti tak acuh dengan sekitarnya. Kamu merasa puas dan cukup dengan kehidupanmu, sehingga lebih fokus pada hal-hal yang kamu senangi saja. Ya, tetap merasa nyaman meski melewatkan banyak hal yang sebenarnya kamu tak ingin melewatkannya.
Baca juga: 1432 Meaning dan Arti Bahasa Gaul Angka Lainnya di Media Sosial
Mengenal Arti Bahasa Gaul FOMO, JOMO, FOBO, Yolo, dan Cara Penggunaannya
Nah, supaya nggak salah menggunakan istilah dari bahasa gaul itu, simak perbedaan arti FOMO, JOMO, FOBO, dan YOLO di bawah! Selain itu, ketahui juga cara penggunaannya yang tepat.
Baca juga: Artinya Instahusband: Kisah di Balik Foto Instagram Estetik Pasangan
FOBO adalah kembaran istilah FOMO
Istilah unik bahasa Inggris lain yang biasa kamu temukan dalam bahasa gaul ada FOBO, yaitu Fear of Better Option. Dalam bahasa Indonesia artinya takut akan opsi lebih baik.
Orang-orang yang mengalami FOBO terjebak pilihan-pilihan yang harus diambil saat dihadapkan pada suatu keputusan. Akibat dari ragu mengambil keputusan, kamu secara obsesif akan memikirkan semua pilihan karena takut kehilangan opsi terbaik dan nantinya menyesal.
FYI, istilah ini diciptakan oleh Patrick McGinnis, pemodal ventura AS yang dikenal juga sebagai pencetus istilah FOMO. Cara mengatasi FOBO, kamu perlu percaya akan keputusan yang telah diambil, dan mengetahui dampak dari keputusan tersebut.
Baca juga: Istilah Anak Jaksel dalam Circle Pergaulan | Sudah Tahu Belum?
YOLO atau You Only Live Once pasti sangat sering kamu mendengarnya. Bagi sebagian orang, istilah ini seperti mantra untuk nggak membuang-buang waktu dan lakukan apa yang diinginkan saat ini.
Hidup hanya sekali dan banyak orang ingin lebih menikmati hidup daripada memikirkan pendapat orang lain.
Tapi kalau kamu salah kaprah dengan artinya YOLO dan hanya fokus pada kesenangan semata, bisa-bisa nanti berdampak negatif, seperti sembrono melakukan pengeluaran tanpa memikirkan dampak panjang.
Istilah ini sebenarnya memiliki makna motivasi supaya kamu menjalani hidup lebih bermakna. Mengisi kehidupan kamu dengan hal-hal bermanfaat.
ARTIKEL MENARIK LAINNYA:
Itulah arti FOMO, JOMO, FOBO, dan YOLO. Kini, kamu nggak perlu bingung lagi cara penggunaannya yang tepat. Ternyata bukan sekadar bahasa gaul saja, kan? Semoga membantu, ya!
Cari kost coliving dekat dengan kuliner, perkantoran, rumah sakit, maupun tempat strategis lainnya? Coba ngekost di Rukita saja!
Tersedia berbagai pilihan jenis kost coliving Rukita yang berada di lokasi strategis dengan akses mudah dekat berbagai tempat strategis. Nggak hanya di Jabodetabek dan pulau Jawa saja, ada juga di beberapa kota Indonesia lainnya!
Tapi, kalau kamu punya budget pas-pasan dan sedang mencari kost harga ekonomis fasilitas lengkap, bisa kepoin Infokost.id. Tersedia kost di beberapa kota di Indonesia dengan harga sewa murah!
Jangan lupa unduh aplikasi Rukita via Google Play Store atau App Store, bisa juga langsung kunjungi www.rukita.co.
Follow juga akun Instagram Rukita di @rukita_Indo, Twitter di @rukita_Id, dan TikTok @rukita_id untuk berbagai info terkini serta promo menarik!